Minggu, 14 September 2014



Mau bahas apa kali ini? Kita keluar topik dulu sejenak. Kali ini ngga ada hitung-hitungan, ngga ada analisa-analisaan, ngga ada desain-desainan, ngga ada pusing-pusingan. Kita coba merenung dan mengamati fakta yang ada di sekitar dunia kita, dunia konstruksi, dunia teknik sipil.
Kita kan udah tau, dalam mewujudkan suatu bangunan konstruksi, apapun itu, paling tidak ada 2 tahap penting: Perencanaan, dan Pelaksanaan.
Di tahap Perencanaa, si Insinyur punya tugas bagaimana mendesain sebuah bangunan konstruksi yang kuat. Kuat dalam arti tidak runtuh/collapse sewaktu difungsikan, maupun sewaktu menghadapi kondisi yang datang dari lingkungan. Rumah misalnya, ngga boleh ambruk ketika ditinggali, jangan sampai rubuh ketika terjadi gempa, ngga rusak ketika ada badai, dll. Inti dari semua itu kan cuma satu… jangan sampai ada korban nyawa atau terluka parah.
Jadi, ujung-ujungnya, yang dilakukan oleh si Insinyur hakikatnya adalah melindungi nyawa dan keselamatan manusia. Ngga jauh beda lah sama dokter :D Makanya sebagai Insinyur Teknik Sipil, seharusnya kita bangga :D, tapi yang ada di mata masyarakat malah Insinyur Sipil itu ngga ada bedanya dengan (maaf) kuli bangunan yang berpakaian rapi :D

Rabu, 10 September 2014

GEOMETRIK JALAN RAYA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Jalan adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat lain. Lintasan diatas menyangkut jalur tanah yang diperkeras dan jalur tanah tanpa perkerasan. Jalan yang akan dilewati itu menyangkut semua benda atau makhluk hidup, baik kendaraan bermotor, gerobah, hewan, maupun manusia.
Sehingga bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan. Perkembangan kapasitas maupun kwantitas kendaraan yang menghubungkan kota-kota antar propinsi dan terbatasnya sumber dana untuk pembangunan jalan raya serta belum optimalnya pengoprasian prasarana lalu lintas yang ada, merupakan persoalan utama di Indonesia dan dibanyak Negara, terutama Negara-negara yang sedang berkembang.
Jaringan Jalan Raya merupakan penghubung antara desa dengan kota, daerah dengan daerah, tempat yang satu dengan tempat yang lain.Untuk berlangsungnya kepentingan ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan sebagainya. Jalan yang baik adalah jalan yang mampu secara optimal kepada lalu lintas sesuai fungsinya serta memenuhi syarat-syarat perencanaan yang meliputi:
a.    Singkat dan pendek.
b.   Ekonomis, menghindari rintangan tertentu yang akan membutuhkan biaya tambahan, mengusahakan antara galian dan tmbunan.
c.    Aman, cukup lebar sesuai dengan kelasnya, turunan dan tanjakan tidak terlalu curam dan tikungan yang memenuhi syarat.
d.   Nyaman, hendaknya situasi jalan memberi kesan yang nyaman bagi pengguna jalan sehingga perjalanan tidak terlalu melelahkan.
1
 
1.2              Tujuan
Tujuan dari penyusunan Tugas Besar ini adalah sebagai persyaratan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Desain Jalan Raya dan mendapat wawasan dari pengaplikasian Geometri Jalan Raya dan Perkerasan Jalan Raya pada umumnya.

1.3              Manfaat
Manfaat dari penyusunan Tugas Besar ini adalah Mahasiswa mampu mendesain Jalan Raya yang baik, ekonomis, aman dan nyaman untuk memenuhi unsur keselamatan pengguna jalan raya dan tidak mengganggu ekosistem.






















BAB II
LANDASAN TEORI DAN KRITERIA PERENCANAAN

2.1              Pengertian Jalan Raya
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).
Menurut UU jalan yang terbaru, jalan dikelompokkan berdasarkan 4 hal, yaitu:
1.      Sistem Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan ini dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
o   Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti rencana tata ruang dan memperhatikan keterhubungan antar kawasan perkotaan yang merupakan pusat-pusat kegiatan seperti menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan, dan menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
o   Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten yang menghubungkan secara menerus kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai kepersil.
3

 
2.      Fungsi Jalan
Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas dan angkutan jalan, fungsi jalan dibedakan atas:
o   Jalan Arteri (Utama)
Merupakan jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jaln masuk dibatasi secara efisien dalam komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik.
o   Jalan Kolektor (Sekunder)
Merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya jalan sekunder dibagi dalam tiga kelas, yaitu:
a.    Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan dari lapisan aspal beton atau yang setara.
b.   Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
c.    Kelas III
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi tunggal, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan bermotor lambat dan kendaraan tak bermotor.


o   Jalan Lokal (Penghubung)
Merupakan jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan yang dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Keterangan:
D : Datar
B : Bukit
G : Gunung

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Raya
Kalasifikasi Jalan Raya
Jalan Raya Utama
Jalan Raya Sekunder
Jalan Penghubung
I
IIA
IIB
IIC
III
Klasifikasi Medan
D  B  G
D         B       G
D         B       G
D         B       G
D         B  
           G
Lalu Lintas Harian Rerata
20.000
6.000-20.000
1.500-8.000
20.000
-
Kecepatan Rencana (Km/Jam)
120       100   80
100     80 60
80      60 40
60      40 30
60         40   30
Lebar Daerah Penguasaan Minimum (m)
60        60 60
40       40 40
30      30 30
30      30 30
30         30      30
Lebar Perkerasan (m)
Min 2(2x3,75)
2x3,5 atau 2(2x3,5)
2x3,50
2x3,00
3,50-6,00
Lebar Median Minimum (m)
2
1,5
-
-
-
Lereng Melintang Perkerasan
2%
2%
2%
2%
2%
Lereng Melintang Bahu
4%
4%
6%
6%
6%
Jenis Lapisan Permukaan Jalan
Aspal Beton (HM)
Aspal Beton
Penetrasi Berganda
Paling Tinggi Pen.Tunggal
Paling Tinggi Pelebaran Jalan
Miring Tikungan
10%
10%
10%
10%
10%
Jari-Jari Lengkung
Min. (m)
560     350 210
350       210 115
210      115 50
210      115 50
210       115 50
Landai Maksimum
3%       5% 6%
4%       6% 7%
5%      7% 8%
6%       8% 10%
6%        8% 10%
Sumber: Departemen PU

3.      Status Jalan
Jalan umum dikelompokkan menjadi 5golongan, yaitu:
a.    Jalan Nasional
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat nasional.
b.   Jalan Propinsi
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat propinsi.
c.    Jalan Kabupaten
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat kabupaten.
d.   Jalan Kota
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat kota.
e.    Jalan Kota
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat desa.
4.      Kelas Jalan
Penentuan kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan.
Penentuannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Pengelompokan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan, terdiri atas:
a.    Jalan Bebas Hambatan
Meliputi pengendalian jalan masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik jalan, dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-kurangnya 3,5 meter.
b.   Jalan Raya
Jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-kurangnya 3,5 meter.
c.    Jalan Sedang
Jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah, lebar lajur paling sedikit 7 meter.
d.   Jalan Kecil
Jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arahdengan lebar jalur paling sedikit 5,5 meter.

2.2              Klasifikasi Medan dan Lereng Melintang
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan




Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Perencanaan jalan sepantasnya disesuaikan dengan keadaan medan . namun fungsi jalan sering kali menuntut perencanaan jalan tidak sesuai dedengan kondisi medan dansekitarnya . hal ini menybabkan tingginya volum pekerjaan tanah keseimbangan antara fungsi jalan dengan keadaan medan akan mempengaruhi nilai biaya pembangunan jalan tersebut.
Dalam perencanaan jalan, keadaan medan dibagi 3 yaitu sebagai berikut:
a.    Medan Datar (D)
Suatu medan dikatakan datar apabila kecepatan kendaraan truk sama atau mendekati kecepatan mobil penumpang.
b.   Medan Perbukitan (B)
Suatu medan dikatakan perbukitan apabila kecepatan kendaraan truk berkurang sampai dibawah kecepatan mobil penumpang, tetapi belum merangkak.


c.    Medan Pegunungan (P)
Suatu medan dikatakan pegunungan apabila kecepatan kendaraan truk berkurang banyak sehingga truk tersebut merangkak melewati jalan tersebut dengan frekuensi yang sering.

Medan datar, perbukitan dan pegunungan dapat pula dibedakan dari data besarnya kemiringan melintangrata-rata dari potongan melintang tegak lurus sumbu jalan.
Spesifikasi standart untuk perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota dari Bipran, Bina Marga (Rancangan Akhir) memberikan ketentuan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi Medan
Jenis Medan
Kemiringan Melintang Rata-Rata
Datar (D)
0 - 9,9 %
Perbukitan (B)
10 – 24,9 %
Pegunungan (P)
25,00 %
Sumber: Departemen PU

Selain medan, kita juga perlu memperhatikan tentang lereng-lereng yang melintang pada jalan yang akan dibangun. Tiap-tiap lereng memiliki kemiringan yang berbeda. Kemiringan melintang jalur lalu lintas dijalan lurus diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan. Air yang jatuh diatas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran-saluran pembuangan. Kemiringan melintang bervariasi antara 2 % - 4 %, untuk lapisan permukaan dengan mempergunakan bahan pengikat seperti aspal atau semen. Semakin kedap air lapisan tersebut semakin kecil kemiringan melintang yang dapat digunakan.Sedangkan untuk jalan dengan lapisan permukaan belum mempergunakan bahan pengikat seperti jalan berkerikil, kemiringan melintang dibuat sebesar 5 %.
Kemiringan melintang jalur lalu lintas ditikungan dibuat untuk kebutuhan keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja disamping kebutuhan akan drainase akan besarnya kemiringan melintang yang dibutuhkan.



2.3              Perencanaan Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang kertas (peta) terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.
Garis lengkung horizontal adalah bagian yang lengkung dari jalan yang ditempatkan antara dua garis lurus untuk mendapatkan perubahan jurusan yang bertahap.
Dalam merencanakan garis lengkung perlu diketahui hubungan antara design speed dengan lengkung, dan hubungan keduanya dengan superelevasi. Hubungan ini diturunkan dari rumus-rumus mekanika, dan harga yang dipakai untuk perencanaan tergantung dari batas-batas praktis dan faktor-faktor yang ditentukan secara empiris.
Bila kendaraan melintasi suatu lengkung dengan bentuk lingkaran, maka kendaraan ini akan didorong secara radial keluar oleh gaya sentrifugal yang akan diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang diakibatkan superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction) antara ban kendaraan dengan permukaan jalan.





Gambar 2.1 Kesetimbangan Gaya di Tikungan Jalan

Gaya-gaya dalam keadaan setimbang, maka:
= G. Sin a + Fs
= G. Sin a + f( G Cos a + )
- f. = G. Sin a + f.G Cos a
 (Cos a - f. Sin a) = G. Sin a + f.G Cos a                       
Persamaan di atas dibagi dengan  Cos a, didapat:
 (1 - f. Tan a) = G. Tan a + f.G    
Jika miring permukaan jalan disebut dengan superelevasi dan diberi simbol e, maka akan didapat e = Tan a
Persamaan akan berubah menjadi:
 (1 - f. e) = G. e + f.G                                           
Dengan membagi G di ruas kiri dan kanan, maka didapat:
 =
karena nilai perkalian antara e.f kecil, maka dapat diabaikan, sehingga rumus lengkung horizontal menjadi sbb:
e + f =
Jika v dalam km/j; g =9,81 m/d2; dan R dalam satuan meter, diperoleh:
e + f =


                                                                                        






Gambar 2.2 Derajat Lengkung


Untuk menyatakan suatu lengkung horizontal, di atas dapat dinyatakan dalam Radius (R), dapat pula dinyatakan dalam Derajat Lengkung (D). Derajat Lengkung adalah sudut pusat yang terjadi dengan busur lingkaran 100 feet (25 m).

 =
D =       (R dalam satuan feet)
D =        (R dalam satuan meter)
Semakin besar R, maka D semakin kecil dan semakin tumpul lengkung horizontal rencana.Sebaliknya semakin kecil R maka semakin besar D dan semakin tajam lengkung horizontalnya.
Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang akan melempar kendaraan keluar dari tikungan yang disebut gaya Sentrifugal.
Dalam suatu perencanan alinemen horizontal, terdapat 3 macam bentuk lengkung horizontal, antara lain:
a.       Full Circle (FC)
Bentuk tikungan ini adalah jenis tikungan yang terbaik, dimana mempunyai jari-jari besar dengan sudut yang kecil.Yaitu hanya dapat digunakan jika jari-jari tikungan R yang direncanakan besar dan nilai superelevasi e lebih kecil dari 3%.Batas besaran R minimum di Indonesia ditetapkan oleh Bina Marga sebagai berikut:

Tabel 2.4 Batas Besaran Minimum
Kecepatan Rencana
(Km/Jam)
Jari-Jari Lengkungan
Minimum (m)
120
2000
100
1500
80
1100
60
700
40
300
30
100
Sumber: Departemen PU

b.      Spiral Circle Spiral (SCS)
Lengkung spiral – circle – spiral pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi e 3% dan panjang Ls  20 meter.
c.       Spiral Spiral (SS)
Lengkung spiral – spiral pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi e 3% dan panjang Ls 20 meter.

Dalam perencanaan alinemen horizontal perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1.   Ketentuan-ketentuan dasar yang tercantum pada daftar standart perencanaan geometri jalan.
2.   Jenis-jenis lengkung peralihan
·   Full Sircle
Lengkung ini dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Tc = R*tg ( )
  E =  – R
Lc =  * R
Dengan,
Tc: Panjang tangen dari PI “point of interaction” (m)
    : titik awal peralihan dari posisi lurus kelengkung
R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
                       : Sudut alinemen horizontal (°)
E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
·   Spiral Circle Spiral
Parameter lengkung S-C-S sebagai berikut:
s =
Lc =
  p =  - R (1- cos )
  k = Ls -  - R*sin
Ts = (R + p)* tg  + k
 E =  - R
Xs = Ls (1-  )
             Ys =
Dengan,
                         : Sudut spiral pada titik SC
Ls : Panjang lengkung spiral
R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
: Sudut alinemen horizontal (°)
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
Ts : Jarak titik Ts dari PI (m)
                               titik awal mulai masuk ke daerah lengkung
E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
Xs,Ys : Koordinat titik peralihan dari spiral ke circle (m)
·   Spiral Spiral
Parameter lengkung S-S sebagai berikut:
s =
p =  - (1 - )
k = Ls -  - R* Sin
Ts = (R + p) * tg (  + k
                E =  – R
Dengan,
s : Sudut spiral pada titik SC=CS
Ls : Panjang lengkung spiral
 R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
 : Sudut alinemen horizontal (°)
Ts : Jarak titik Ts dari PI (m)
       titik awal mulai masuk ke daerah lengkung
  E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
3.   Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pas As jalan yang menunjukkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan yang bersangkutan dalam arah melintang. Maksud dari penggambaran profil melintang disamping untuk memperlihatkan bagian-bagian jalan juga untuk membantu dalam menghitung luas penampang melintang jalan.
4.   Kemiringan Pada Tikungan (Superelevasi)
Pada suatu tikungan jalan, kendaraan yang lewat akan terdorong keluar secara radial oleh gaya sentrifugal yang diimbangi oleh:
·   Komponen yang berkendaraan yang diakibatkan oleh adanya superelevasidari jalan.
·   Gesekan samping antara berat kendaraan dengan perkerasan jalan.
Kemiringan superelevasi maksimum terdapat pada bagian busur tikungan sehingga perlu diadakan perubahan dari tikungan kemiringan maksimum berangsur-angsur kemiringan normal.
Dalam melakukan perubahan pada kemiringan melintang jalan, terdapat 3 metode pelaksanaan, yaitu:
·   Mengambil sumbu As jalan sebagai sumbu putar
·   Mengambil tepi jalan sebagai sumbu putar
·   Mengambil tepi luar jalan sebagai sumbu putar
5.   Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Untuk membuat tikungan suatu jalan tetap sama baik pada bagian lurus maupun tikungan perlu diadakan pelebaran perkerasan pada tikungan tergantung pada:
·   Jari-jari tikungan (R)
·   Sudut tikungan ( )
·   Kecepatan tikungan (Vr)
Rumus:
 b’ = 2,4 + R –
Td =
  z =
Dengan,
R : Jari-jari tikungan
 p : Jarak ban muka dan ban belakang
A : Jarak ujung mobil dan ban depan
Vr : Kecepatan rencana
Rumus:
W = B - L
Dengan,
B : Lebar jalan
L : Lebar badan jalan (kelas IIB = 7,0)
Syarat:
Bila B  7, maka tidak perlu pelebaran
Bila B  7, maka perlu pelebaran

2.4       Perencanaan Alinemen Vertikal
Alinyemen vertikal adalah perpotongan antara bidang vertikal dengansumbu jalan. Untuk jalan dengan dua lajur, alinyemen vertikal ini adalahperpotongan bidang vertikal melalui sumbu atau as jalan. Didalam perancangangeometrik jalan harus diusahakan agar alinyemen vertikal mendekati permukaantanah asli yang secara teknis berfungsi sebagai tanah dasar,untuk dapatmengurangi pekerjaan tanah
            Dalam perencaan alinyemen vertikal mengambil spesifikasi Teknis dari bab perencanaan yaitu besarnya kecepatan rencana 50 km/jam. Besaran kecepatan rencana ini yang akan dipakai dalam klasifikasi perencanaan alinyemen vertikal yang akan ditentukan berdasarkan Dirjen Bina Marga “Standar Perencanaan Geometri untuk Jalan Perkotaan, 1992” adalah sebagai berikut :
a.       Panjang lengkung minimum vertikal = 50 meter
b.      Jari-jari minimum lengkung vertikal
1.      Cekung = 1000 meter
2.      Cembung = 1400 meter
c.       Jarak pandang menyiap
Adalah jarak pandang yang dibutuhkan sehingga aman dalam melakukangerakan menyiap dalam keadaan normal. Besarnya jarak pandang menyiap untuk mengurangi kejutan dalam berkendara.
            Alinemen vertical terdiri atas bagian landai vertical dan bagian lengkung vertical. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertical dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negative (turunan) atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertical dapat berupa lengkung cekung/cembung.
a.    Landai maksium
                        Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum (yang diijinkan) untuk berbagi VR ditetapkan dapat dilihat dalam tabel, yaitu :

Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum
VR (km/jam)
120
110
100
80
60
50
40
<40
Kelandaian
Maksimal (%)
3
3
4
5
8
9
10
10
Sumber: Departement PU

            Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian hingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari 1 menit. Panjang kritis dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.6 Panjang Kritis
Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam)
Kelandaian (%)
4
5
6
7
8
9
10
80
630
460
360
270
230
230
200
60
320
210
160
120
110
90
80
Sumber: Departement PU


b.   Lengkung vertical
                        Lengkung vertical harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan :
Ø Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian
Ø Menyediakan jarak pandang henti
Lengkung vertical dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana,
Ø Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikan cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus :
L = AS²/405
Ø Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertical cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus :
L = 2S – 405/A
Panjang minimum lengkung vertical ditentukan dengan rumus :
L = A.Y
L = S²/405
Dimana :
 L = Panjang lengkung vertical (m)
 A = Perbedaan grade (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
 Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm dan tinggi mata 120 cm.
Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan dan penampilan. Y ditentukan sesuai tabel :

Tabel 2.7 Faktor Kenyamanan Penampilan
Kecepatan rencana (km/jam)
Faktor penampilan kenyamanan Y
<40
1.5
40-60
3
>60
8
Sumber: Departement PU


            Panjang lengkung vertical bisa ditentukan langsung sesuai tabel di bawah ini yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang.

Tabel 2.8 Panjang Lengkung Vertikal
Kecepatan rencana (km/jam)
Perbedaan kelandaian memanjang (%)
Panjang lengkung
(m)
<40
1
20-30
40-60
0.6
40-80
>60
0.4
80-150
Sumber: Departement PU

c.    Lajur pendakian
                           Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lambat dari kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan. Lajur pendakian harus desediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya padat.
                        Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
Ø Disediakan pada jalan arteri atau kolektor.
Ø Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR> 15000 smp/hari dan persentase truk >15 %.
                        Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian dimulai 30 m dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45 m dan berakhir 50 m sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 m.jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1.5 km.
d.   Koordinasi alinemen
Alinemen vertical, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi awal.
                        Koordinasi alinemen vertical dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
Ø Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertical dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertical.
Ø Tikungan tajam pada bagian bawah lengkung vertika cekung atau pada bagian atas lengkung vertical cembung harus dihindarkan.
Ø Lengkung vertical cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
Ø 2 atau lebih lengkung vertical dalam 1 lengkung horizontal harus dihindarkan.
Ø Tikungan tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
e.    Jarak Pandang
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dalam batas mata pengemudi dapat melihatdan menguasai kendaraan pada suatu jalur lalu lintas.
Jarak pandang bebas dibagi menjadi 2 yaitu:
1.   Jarak Pandang Henti (dH)
Jarak yang ditempuh pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang bergerak setelah melihat adanya rintangan pada lajur yang dilaluinya.
Besarnya jarak pandang henti minimum sangat tergantung pada kecepatan rencana jalan.
Rumus:
d = 0,278 V.t +

 Dimana:
fm: Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan.
 V:   Kecepatan kendaraan (Km/Jam)
  t:    Waktu reaksi = 2,5 detik

Tabel 2.9 Jarak Pandang Henti Minimum
Kecepatan Rencana, Vr (Km/Jam)
Kecepatan Jalan, Vj (Km/Jam)
Koefisien Gesek Jalan, fm
d Perhitungan untuk Vr (m)
d Perhitungan untuk Vj (m)
d Desain (m)
30
27
0,400
29,71
25,94
25-30
40
36
0,375
44,60
38,63
40-45
50
45
0,350
62,87
54,05
55-65
60
54
0,330
84,65
72,32
75-85
70
63
0,313
110,28
93,71
95-110
80
72
0,300
139,59
118,07
120-140
100
90
0,285
207,64
174,44
175-210
120
108
0,280
285,87
239,06
240-285
Sumber: Sukirman 1994

2.   Jarak Pandang Menyiap (dM)
Jarak minimum  didepan kendaraan yang direncanakan harus dapat dilihat pengemudi agar proses menyiap kendaraan didepannya dapat dilakukan tanpa terjadi tabrakan dengan kendaraan dari arah yang berlawanan. Besarnya jarak menyiap standar adalah sebagai berikut:
d = d1+d2+d3+d4
    Keterangan:
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur kanan.
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap selama berada pada lajur sebelah kanan.
d3 = Jarak bebas yang harus disediakan antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap dilakukan.
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang menyiap berada pada jalur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 d2.
Rumus:
d1 = 0,278 t1
d2 = 0,278 V t2
d3 = 30  100 m
d4 =  * d2
Dimana:
t1 = Waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan yang sesuai dengan persamaan
t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada jalur kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi
t2 = 6,56 + 0,048 V
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15Km/Jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama dengan kecepatan rencana, Km/Jam
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan menggunakan korelasi
a = 2,052 + 0,0036 V
Jarak pandang menyiap minimum
dmin = 2/3 d2 + d3 + d4

Tabel 2.9 Jarak Pandang Menyiap Minimum
Kecepatan Rencana, Vr (Km/Jam)
Jarak Pandangan Menyiap Standar Perhitungan (m)
Jarak Pandangan Menyiap Standar Desain (m)
Jarak Pandangan Menyiap Minimum Perhitungan (m)
Jarak Pandangan Menyiap Minimum Desain (m)
30
146
150
109
100
40
207
200
151
150
50
274
275
196
200
60
353
350
250
250
70
437
450
307
300
80
527
550
368
400
100
720
750
496
500
120
937
950
638
650